Ditulis Oleh ; Abinz Ncuhi Sangia
Di pinggir bukit yang indah tumbuh sebatang pohon yang paling rindang, tempat para burung bertengger rebahkan lebah dan lalat pun tak ketinggalan menikmati dan hinggap di ujung dedaunannya, sementara para binatang melata juga kambing dan kerbau ikut berteduh dibawah payung daun-daunnya yang hijau indah memukau. Lebah bukan hanya hinggap, tapi membuat sarangnya. Mereka mencari bunga yang mekar untuk di menghisap nektar yang ada pada sari bunga, sementara lalat mencari kotoran atau bangkai untuk menghilangkan lapar yang menggerogoti perutnya.
“Hai, lalat hendak ke mana engkau? Dari tadi aku perhatikan dirimu mengitari pohon ini!”
Lalat membalas pertanyaan dari lebah, “Hehehe … kamu enggak lihat aku mengepakkan sayap indahku.”
“Aku sudah mengeliling padang ini, tapi tak ada hewan yang secantik aku.”
Lalat mulai memamerkan kesombongannya, ia terpukau pada keindahan sayapnya yang transparan dengan tubuh hijau berkilau dan semakin berkilau bila terkena sinar matahari.
“Hai lalat hijau, engkau jangan sombong, keindahan sayap dan tubuhmu tak seindah kelakuanmu. Setiap hari kau selalu hinggap ditempat-tempat yang kotor, bau, dan menjijikkan. Di kakimu selalu menyangkut berbagai penyakit yang membahayakan manusia, seperti disentris dan salmonellosis melalui kontaminasi pada makanan dan minuman,” kata Lebah.
“Coba lihat diriku, tubuh, dan sayapku indah, tempatku mencari makan juga indah dan wangi, sehingga yang aku hasilkan juga wangi bahkan menjadi obat bagi segala penyakit, itulah madu sedangkan engkau hanya menghasilkan penyakit yang membahayakan manusia.”
Lebah ternyata terkena penyakit sombong juga dengan kelebihan yang diberikan Tuhan dia menjelekkan Lalat sebagai sumber malapeta dan berbangga diri karena menghasilkan madu yang manis, juga sebagai obat, bahkan sentuhan kakinya pada putik bunga menyebakan terjadinya pembuahan. Sementara lalat selalu hinggap di tempat-tempat yang kotor, bau busuk, dan tidak jarang lalat hijau melepaskan benihnya berupa bakal ulat-ulat pada makanan manusia terutama daging dan ikan sehingga menimbulkan sakit perut bagi manusia yang memakannya.
“Sut, sudah jangan bertengkar.”
Tiba-tiba suara pohon mengakagetkan mereka.
“Teman-temanku jangan suka menghina yang lain karena semua ciptaan Tuhan punya kelebihan dan manfaat masing-masing yang tidak dimiliki oleh yang lainnya. Seperti aku, tempat kalian hinggap, setiap hari aku menghirup racun-racun yang dikeluarkan manusia dan hewan kemudian aku ganti oksigen sehingga udara menjadi bersih dan sehat. Lalat pun telah memberi kemanfaatan bagi kita semua, dengan kemampuannya menguraikan kotoran yang diserap diriku hingga tumbuh subur menghasilkan daun yang rindang juga bunga yang indah lagi harum. Jadi hidup ini seperti Pelangi karena berkumpulnya warna yang berbeda menjadi indah dipandang, tak ubahnya dengan rantai kehidupan, manusia dan hewan yang menikmati buah dan biji kemudian membuang kotoran yang dihinggapi lalat sehingga terurai dengan baik menjadi kompos yang menyuburkan tanaman dan pepohonan yang menghasilkan bunga sehingga lebah bisa menikmati nektarnya.”
Nasihat yang indah dari pohon tersebut membuat lebah dan lalat tertunduk malu atas kesobongan yang telah mereka pamerkan, kemudian mereka saling meminta maaf dan berpelukan antara satu sama lain, bahwa sejatinya mereka saling bergantung atara satu dengan yang lain, sekalipun dalam keseharian berbeda perilaku dan mungkin juga bagi yang lain menjijikan, tapi disitulah kasih karunia Tuhan bahwa dibalik perbedaan ada rahmat yang dia selipkan diantara kebaikan dan keburukan makhluk-Nya. ***