Ditulis Oleh: Takdir Alim Syah
Hari masih belum menunjukkan teriknya, sejuk. Angin semilir menari di antara dedaunan, iringi jatuhnya yang lembut.
“Tadi malam hujan rintik sepertinya,” batinku. Langkah kakiku yang perlahan seolah berfantasi, jauh sebelum hari ini.
“Alim … Alim …” suara temanku memanggil dari luar rumah. Siang itu memang aku sedang di rumah. Malas bermain keluar. Namun, bukan itu yang jadi alasanku tidak bermain.
“Ada apa ya?” tanya mamaku. “Alim dicari sama temannya, Bu. Katanya suruh bayar utang.” “Oh gitu, ya sudah nanti Ibu kasih tahu.”
“Tuh kan?” batinku dengan hati yang ketakutan. Aku teringat bermain dengan temanku yang seharusnya tidak aku lakukan. Biasalah anak kecil. Bermain, tapi ada taruhannya dan akhirnya aku kalah dan harus berhutang.
“Alim, kenapa berhutang?” Kalimat itu yang keluar dari lisan mamaku dan aku tidak berani menjawab. Aku tertunduk dan sedikit menangis. Lalu Mama duduk di sebelahku.“Mama saja kalau belanja selalu bayar langsung kok. Enggak pernah tuh, hutang. Tahu kan sama warung yang di sana itu? Mama selalu bayar langsung loh,” ujar Mama sambil menyentuh pundakku.
“Iya, Ma. Alim salah.”
“Jangan diulang lagi, ya!” senyum Mama manis. Aku mangangguk pelan sambil tersenyum memandang Mama.
Kembali kulangkahkan kakiku. Angin sejuk semilir membuatku semakin menerawang jauh ke belakang. Teringat ketika aku bersama Bapak ke tempat kerjanya. Naik motor vespa melewati jalan raya yang belum pernah aku lewati sebelumnya. Aku masih sangat kecil saat itu. Lalu ketika tiba di tempat kerja bapakku, aku diajak ke perpustakaan untuk menunggu. Bapakku saat itu ada yang harus dilakukan bersama temannya. Menjelang pulang, aku melewati kantin dan dibelikan makanan ringan dan dimasukkannya makanan itu ke dalam laci motor.
Hal yang kuingat saat bersama Bapak waktu itu adalah Bapak selalu membanggakan diriku di hadapan teman-teman kerjanya. Rasa bangga dalam diriku muncul terhadap Bapak. Rasa itu kembali muncul ketika aku diterima di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) bertahun-tahun kemudian. Bapak membuat sebuah acara yang di dalamnya menceritakan betapa Bapak bangga kepadaku. Kembali rasa bangga muncul dalam diriku, bangga memiliki seorang Bapak seperti beliau.
Kuhentikan kakiku dan terduduk dalam diam sambil menatap tulisan di depanku. Tertulis nama Mama dengan pahatan berwarna emas di batu di atas gundukan tanah yang ditumbuhi rumput. Rapi. Agak lama, lalu berpindah tak jauh. Tertulis juga nama Bapak yang tidak jauh dari Mama.
“Ma, Pa … aku akan bekerja dan melewati hidup ini seperti sayang kalian berdua menyayangiku. Kalian sudah mengajariku banyak dan akan kuterapkan nanti, insyaallah,” batinku. Matahari meninggi, kutinggalkan lokasi TPU itu dengan doa yang tulus. ***