Ditulis Oleh: Fransisca Kumalasari
Memiliki seseorang yang mau mendengarkan cerita kita adalah anugerah.
Saat jam istirahat, Cica duduk di bangku depan kelas dengan tatapan kosong. Di tangannya ada sepotong roti yang masih utuh. Rara menghampirinya, “Ca, kok bengong? Rotimu enggak dimakan?”
“Hai, Ra. Lagi enggak pengin makan bekal. Masih kenyang,” jelasnya.
“Tumben. Biasanya bekalmu selalu habis. Kamu kenapa, sedang sakit?” tanya Rara khawatir. Cica menggeleng lemah.
“Ada apa, Ca? Kamu bebas bercerita kepadaku kalau kamu mau,” ujar Rara.
“Tadi, di rumah, Papa tiba-tiba jatuh pingsan, lalu dibawa ke rumah sakit. Aku takut sekali. Bagaimana kalau Papa sakitnya parah? Yang aku tahu, Papa ada tekanan darah tinggi. Beberapa hari ini Papa sering pulang malam karena harus lembur di kantornya. Sepertinya terlalu cape bekerja.”
“Hmm, aku belum pernah mengalami hal seperti itu. Pasti berat rasanya jika orang tua sakit, ya,” ucap Rara diikuti anggukan Cica.
“Menurutmu, apa papaku baik-baik saja?” tanya Cica cemas.
“Entah, sepertinya dokter yang lebih tahu. Semoga Papa kamu segera pulih, ya!” jawab Rara.
“Iya. Terima kasih ya, Ra, sudah mau menemani dan mendengarkan ceritaku,” ucap Cica sedikit lebih tenang.
“Kita kan berteman baik, Cica. Aku ada buat kamu,” ujar Rara.
“Lega rasanya setelah bercerita sama kamu. Apa yang bisa kulakukan untuk membantu Papa, ya?” tanya Cica.
“Sekarang jaga kesehatanmu, habiskan bekal. Sepulang sekolah, tanyakan kondisi Papa kepada Mama,” ujar Rara memberi saran. Cica melahap habis rotinya. ***