Ditulis Oleh: Ridha Muslimah Sacha
Amri tampak terkejut ketika aku menyapanya. Ia tidak menyangka aku mau berbicara dengannya. Aku menawarkan bekalku kepadanya. Aku mengajaknya makan bersama. Awalnya, ia menolak. Namun, aku terus mengajaknya. Dengan takut-takut, ia mau memakan bekalku.
Setelah itu, Amri pamit ke belakang. Ia sepertinya minder dan malu berteman denganku.
“Kenapa kamu mau bermain dengannya, Sidiq? Kamu lihat sendiri ‘kan tampang Amri yang kucel kayak orang nggak pernah mandi. Badannya bau lagi,” ejek Doni.
“Anak orang miskin lagi,” Ronald menimpali dengan hinaan.
“Astaghfirullah, teman-teman. Jadi, karena itu kalian mengucilkan Amri?” Aku menghela napas.
“Ayahnya terbaring sakit. Sudah enggak bisa mencari nafkah. Amri enggak mampu beli sabun. Ia juga enggak punya seragam yang layak. Makan juga sering seadanya. Mestinya, kita membantu Amri. Bukannya malah menjauhi dan mengucilkannya,” lanjutku gemas.
“Iya, mestinya kita bersyukur diberikan Tuhan orang tua yang kaya. Mau makan apa saja ada. Baju yang bagus juga banyak. Kalau suatu saat nanti Tuhan jadikan kamu kayak Amri, gimana?” sambung Raka.
“Eh, jangan sampai deh!” sahut Doni dan Ronald serempak.
“Makanya, yuk bersyukur dan bantu teman kita yang kekurangan!” ajakku. ***