Oktin Wahyuningsih, S.Pd.
“Cahaya yang keluar dari kunang-kunang berasal dari perut bagian bawah. Jadi, tidak menghasilkan panas.”
Malam hari saat liburan di kampung halaman Kakek. Bunda duduk di bale bersama Kakek, sedangkan aku dan Silmi bermain di pinggir kolam. Tiba-tiba seekor kunang-kunang hinggap di rambut Silmi. Ia menjerit ketakutan. Dengan sigap aku pungut kunang kunang itu.
“Mbak … awas kepanasan!” teriak adikku panik.
“Enggak panas kok,” jawabku.
“Kunang-kunang bercahaya, tapi tidak panas, makanya tangan Mbak Hafidia tidak kepanasan,” ujar Kakek yang tiba-tiba menghampiri.
“Kenapa lampu panas, tapi kunang-kunang tidak panas, Kek?” tanyaku.
“Lepaskan dulu kunang-kunangnya, kasihan kalau kamu penjara begitu!” perintah Kakek. Aku melepaskan kunang-kunang dari genggamanku. Kakek mengajak kami bergabung dengan Bunda di bale.
Kemudian Kakek menjelaskan kalau cahaya yang keluar dari kunang-kunang berasal dari perut bagian bawah. Cahaya itu terbentuk dari kemampuan kunang-kunang mengendalikan kerja tubuhnya sehingga ia bisa menghasilkan kilatan cahaya berwarna kuning kehijauan. Jika cahaya lampu menghasilkan cahaya panas, cahaya kunang-kunang adalah cahaya dingin.
Selain kunang-kunang, jamur tertentu dan beberapa makhluk hidup yang tinggal di lautan dalam juga ada yang menghasilkan cahaya. Namun, kunang-kunang adalah satu-satunya hewan yang tidak menghasilkan panas ketika bercahaya.
“Wah … kunang-kunang keren!” seru Silmi.
“Andai manusia seperti kunang-kunang, pasti enggak bingung saat lampu padam. Hehe …” kelakarku.
Kami semua tertawa. Malam pun makin larut, kami semua masuk dan siap-siap beristirahat. ***