Ditulis Oleh: Niken Indah Kusuma
Penuhi kebutuhanmu, bukan keinginanmu, sebab keinginan itu tidak akan ada habisnya.
Mas Menteri, perkenalkan, saya Niken Indah, seorang pengajar di SD Negeri Cemara Dua di Kota Surakarta, Jawa Tengah. Di sini saya akan bercerita sedikit tentang seorang siswa kami yang berusaha tetap belajar di masa pandemi. Walau keadaan terasa semakin sulit, tapi niat belajar tetap dijalankan sebaik-baiknya.
Mas Menteri, seperti keadaan masyarakat pada umumnya, keluarga Gaby juga merasakan hari-harinya semakin sulit di saat pandemi ini. Ibu Gaby adalah seorang single parent, bekerja sebagai pengajar di TK. Beliau menambah pendapatan dengan memberikan les membaca untuk anak-anak pra-sekolah di sekitarnya. Tentu saja dengan adanya pandemi ini, income tambahan Ibu Gaby mengalami banyak penurunan karena peserta les juga banyak yang berhenti dengan berbagai alasan.
Gaby si anak laki-laki paling kecil di keluarganya harus mengerti kesulitan yang saat ini dihadapi ibunya. Dia harus menahan diri untuk tidak seperti kawan-kawannya yang saat PJJ bisa leluasa bermain ponsel sepanjang hari. Jangankan bermain, punya saja tidak. Satu-satunya ponsel yang ada adalah milik ibunya, itu pun harus berbagi dengan kakaknya yang SMP yang juga sekolah online. Dari ponsel itu dia mendapat informasi tugas belajar yang dikirim guru melalui grup WhatsApp kelas dan segera mengerjakan tugas sebaik-baiknya.
Beberapa kali guru mengadakan tatap muka secara daring melalui Zoom Meeting, tampaknya Gaby tidak pernah menghadiri karena pada jam sekolah, ponsel dibawa ibunya. Hal ini tentu menjadi bahan evaluasi bagi guru, mengapa siswanya tidak mengikuti pembelajaran dan dikhawatirkan akan mempengaruhi prestasi belajar siswa. Gayung bersambut, rupanya pemerintah kota memberikan perhatian bagi anak anak sekolah yang tidak memiliki ponsel untuk sarana belajar. Segera saja pihak sekolah mendaftarkan siswa-siswi yang tidak memiliki fasilitas belajar ini.
Suatu hari, Gaby dan beberapa siswa lain berkesempatan diundang langsung oleh Bapak Walikota untuk acara penyerahan bantuan ponsel bagi siswa-siswi di Kota Solo. Dengan wajah semringah, Gaby menerima ponsel baru dan berfoto bersama Bapak Walikota. Setelah turun dari panggung, dia berbisik kepada guru yang mendampinginya, “Bu, apakah boleh ponsel ini saya tukar dengan uang? Saya lebih membutuhkan uang untuk Ibu saya daripada ponsel ini.” Mendengar permohonan polos Gaby ini, guru pendamping merasa sangat terharu dan berusaha menjelaskan tujuan pemerintah memberikan ponsel bagi anak-anak sekolah ini.
Bagaimanapun, kita dapat memetik hikmah dari peristiwa ini bahwa prioritas hidup itu adalah kebutuhan, bukan sekadar keinginan. Ternyata Gaby memahami bahwa yang dibutuhkan keluarganya adalah uang untuk memenuhi kebutuhan hidup, membantu ibunya yang selalu bekerja keras untuk Kakak dan dirinya. Di benaknya, dia hanya ingin segera bisa membantu meringankan beban ibunya. ***