Ditulis Oleh: Fathiya Nuril Arifiandra
Terik matahari siang memancar kuat bahkan sampai menembus kaca mobil. Awalnya, aku ingin memperbaharui paspor, tetapi ternyata kantor imigrasi libur. “Kasihan sekali ayah sudah izin pulang duluan untuk menemaniku, tapi malah gak jadi,” batinku. “Kak, kita jalan ke sekolah ayah aja yuk,” Tiba-tiba suara ayah memecahkan hening. Dengan spontan aku menerima ajakannya.
Sesampainya di tempat tujuan aku kaget, karena apa yang aku lihat adalah lahan kosong dengan banyak reruntuhan bangunan tua. Sunyi, tapi anehnya tetap ada kehangatan yang terasa. Kuhabiskan waktu untuk berjalan mengelilingi area itu sembari ayah bercerita panjang. Ternyata, tepat 20 tahun lalu, terjadi kebakaran hebat karena malfungsi kembang api saat perayaan hari jadi sekolah. Masa yang seharusnya dijalani dengan penuh tawa dan ria malah berujung menimbulkan tangis bencana.
Tak terasa, ayah dan aku telah menghabiskan setengah hari berada di tempat itu. Kami berlarian mengejar capung, memetik buah dari pohon rindang, dan masih banyak lagi. Setelah teringat, aku pun bertanya, “Jadi, kenapa tadi ayah ngajak kakak ke sini?” Dengan menghela napas ayah menjawab, “Ayah pengen kakak tahu bahwa banyak waktu berkesan yang dapat tercipta dari momen yang tidak direncanakan.” Petang itu pun aku menyadari betapa berharganya seorang ayah di hidupku.