Ditulis Oleh ; Niswatun Nadlifah, S.Pd.
Sore yang indah, matahari bersinar cerah di ufuk barat, cahayanya masih terasa hangat menyentuh kulit. Angin bertiup sepoi-sepoi menerbangkan daun-daun kering di padang rumput di tepi hutan. Seperti biasa tampak kawanan binatang yang sedang merumput, ada rusa, kelinci, kuda, dan binatang lain. Semua terlihat bergembira, namun ada tidak bagi Ruru, seekor rusa kecil yang sedang duduk di bawah pohon cempedak. Matanya menatap tajam kearah orang tuanya, sepasang rusa yg saat itu sedang bermain dengan seekor rusa yang lebih kecil darinya.
“Huh … kenapa dia datang ke sini,” gumam Ruru pelan. “aku tidak suka padanya.”
Ya … sejak kedatangan rusa kecil di tengah keluarganya Ruru merasa berbeda. la merasa orang tuanya lebih sayang pada Zaza, nama rusa kecil itu. Perhatian yang sebelumnya banyak tercurah padanya kini banyak beralih ke Zaza. Ruru menatap Zaza dari kejauhan, tiba saja sebuah rencana melintas dibenaknya, diikuti senyum tipis di ujung bibirnya. Bergegas Ruru bangkit, lalu berlari menghampiri orang tuanya dan Zaza.
“Ayah, Ibu, bolehkah aku mengajak Zaza bermain?” tanya Ruru.
“Oh … tentu boleh, Sayang,” jawab Ibu Ruru. “tapi ingat, jangan jauh-jauh ya, hari sudah sore.
“Baiklah Ibu, Ayah …” jawab Ruru.
“Ayo Zaza, ikuti aku …” duara Ruru terdengar ceria.
“Baik, Ka,” sahut Zaza sambil mengejar Ruru. “tunggu, Kak.”
Sepasang rusa Kecil itu pun berkejaran Zaza tidak menyadari Ruru membawanya masuk ke dalam hutan, semakin jauh kedalam hutan. Sementara matahari semakin tenggelam.
“Zaza, kamu tunggu di sini, aku akan mengambil buah yang lezat untukmu,” ujar Ruru.
Zaza yang tidak tau apa rencana Ruru hanya mengangguk, dan membiarkan Ruru berlalu.
“La la la la la …” Ruru berlalu sambil berdendang. Dia merasa lega, seperti lepas dari beban berat. Langkahnya semakin cepat seiring semakin gelapnya hutan. Ruru yang sudah terbiasa bermain, tentu saja sangat mudah mencari jalan keluar.
“Ruru … darimana kamu, mana adikmu!!” Sebuah pertanyaan keras menyambut Ruru, begitu ia keluar hutan.
“Aku tidak tahu, Ibu,” jawab Ruru.
“Bukankah tadi kamu yang mengajaknya bermain?” tanya Ayah.
“Iya Yah, tapi tadi dia berlari tak tentu arah, aku kira dia pulang,” jawab Ruru tanpa beban sesaat suasana hening, perlahan ibu mendekati Rura.
“Ruru, Zaza itu adikmu, anak dari Pamanmu, minggu lalu paman dan bibi ditembak pemburu, sekarang Zaza hilang,” ujar Ibu diantara isak lirihnya.
“Jujurlah Ruru, kau bawa ke mana adikmu?” tanya Ayah.
Tiba-tiba hati Ruru bergetar.
“Astagfirullah … apa yang aku lakukan,” gumamnya lirih, ia seperti baru tersadar, dengan apa yang baru saja dia lakukan. Jantungnya berdegub kencang, peluhnya mengalir.
“Maafkan aku Ibu … Ayah …” tangis Ruru meledak.
“Aku tidak bermaksud jahat,” ujar Ruru disela-sela tangisnya.
“Lalu di mana Zaza?” Ibu masih terisak tak kuat menahan sedih.
Ibu bersimpuh disamping Ayah juga tidak kalah panik, mondar mandir menyusuri pinggiran hutan. Sementara kawanan binatang lain sahabat-sahabat mereka juga turut cemas.
“Ruru kami sangat menyayangimu, tapi saat ini Zaza lebih membutuhkan Ayah dan Ibu, kamu sudah bisa mengurus diri sendiri, sementara Zaza dia masih kecil …” ujar Ibu sambil menoleh ke arah Ruru.
“Zaza maafkan aku,” Ruru kembali terisak, mendekati Zaza lalu memeluknya, “Maafkan aku sudah iri padamu …”
“Ruru … Zaza … kalian bersaudara, harus saling menyayangi,” suara lembut Ayah menenangkan tangis Ruru, dia mengangguk pelan.
“Ruru janji akan menyayangi Zaza.”
“Oh ya, Terima kasih kucing hutan, kami tidak tahu harus membalas dengan apa kebaikanmu.”
“Tidak perlu pak Rusa, bukankah itu tugas kita semua,” ujar kucing hutan. “saya senang kalian bisa kembali berkumpul,” lanjutnya lagi.
“Sekali lagi terima kasih …” Ibu berkata sambil menundukkan kepala.
“Sama-sama, baiklah saya akan ke hutan, aa…”
Tanpa menunggu jawaban kucing hutan ibu melesat cepat ke dalam hutan.
“Alhamdulillah,” suara Ayah dan Ibu hampir bersamaan.
Terdengar lega dan tenang. Hati Ruru pun terasa tenang karna ia sudah tidak lagi menyimpan rasa iri dan dengki yang berhari-hari telah menyiksa hatinya.
“Ayah, ibu, terima kasih sudah memaafkan Ruru.”
Ayah dan Ibu mengangguk, lalu mereka berempat diiringi sahabat mereka meninggalkan tempat itu menuju tempat tinggal masing-masing. Dalam hati Ruru berjanji akan menjadi kakak yang baik untuk Zaza. Perlahan senyum tipis mengembang di bibir Ruru. ***